![]() |
(Vandalisme kerap ditemukan saat aksi demonstrasi. Foto:// Shalsabhilla Putri) |
Ditulis oleh: Shalsabhilla Putri
Jakarta, Vertex.id - Kalau lewat jalanan, kamu pasti sering melihat tembok penuh coretan. Ada yang sekadar tulisan cinta, ada juga yang pedas banget: “DPR Asik Joget, Rakyat Menjerit.” Buat sebagian orang, ini dianggap merusak kota. Tapi buat banyak anak muda, itu adalah cara paling jujur untuk melawan.
Ketika demo dibatasi, suara rakyat diabaikan, dan kebijakan pemerintah bikin geleng-geleng kepala, dinding kota jadi tempat paling aman untuk teriak. Satu kalimat di tembok bisa lebih viral daripada rilis pers DPR yang panjang lebar.
Coretan itu bukan sekadar kejahatan, tapi bentuk protes. Biar pemerintah tahu ada yang nggak beres, dan rakyat udah nggak percaya lagi.
Selalu Ada Untuk Menegur
Coretan politik bukan hal baru. Dari era Reformasi 1998 sampai mural “404: Jokowi Not Found” yang sempat bikin heboh, tembok selalu jadi saksi bisu perlawanan. Ia hadir di sela-sela jalan kota, seolah menjadi catatan kaki sejarah yang ditulis bukan oleh penguasa, tapi oleh rakyat biasa dengan kaleng cat semprot.
Di Indonesia, masa Reformasi adalah contohnya yang paling nyata. Tembok-tembok Jakarta kala itu penuh dengan kalimat yang menuntut keadilan, menagih reformasi, dan menekan rezim yang dianggap tuli. Setiap coretan adalah dentuman kecil yang, jika dikumpulkan, membentuk gelombang besar hingga akhirnya Soeharto lengser.
Lompatan waktu membawa kita ke era digital. Saat mural “404: Jokowi Not Found” muncul di salah satu sudut kota, publik sontak heboh. Bukan hanya karena pesan satirnya yang sederhana tapi tajam, melainkan karena penghapusannya yang instan oleh aparat. Ironisnya, penghapusan itu justru memperbesar gaung pesan tersebut, menjadikannya viral di jagat maya. Tembok mungkin bisa diputihkan, tapi ingatan publik tak bisa begitu saja dihapus.
Fenomena ini jelas bukan milik Indonesia semata. Di Mesir, grafiti di Lapangan Tahrir menjadi wajah Revolusi 2011, memvisualisasikan kemarahan rakyat terhadap rezim Mubarak. Di Hong Kong, “Lennon Wall” dipenuhi ribuan post-it berwarna yang berisi aspirasi perlawanan membuktikan bahwa dinding bisa jadi ruang demokrasi alternatif. Di Paris 1968, grafiti seperti “Sous les pavés, la plage” (“Di bawah batu, ada pantai”) menjadi simbol romantisme sekaligus radikalisme generasi muda yang menolak status quo. Bahkan di Chile 2019, wajah kota dipenuhi coretan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan ekonomi.
Apa yang bisa disimpulkan dari semua ini? Bahwa di setiap era, di setiap kota, dan di setiap gejolak politik, vandalisme hadir sebagai bahasa rakyat yang paling cepat, paling blak-blakan, sekaligus paling sulit dibungkam. Ia mungkin tidak selalu indah, tapi selalu jujur.
Vandalisme Aspirasi atau Perusakan?
Pertanyaan klasik yang selalu muncul: apakah vandalisme itu sekadar merusak, atau sebenarnya menyuarakan sesuatu yang lebih besar? Buat sebagian masyarakat, coretan di dinding adalah sampah visual. Tapi kalau ditarik ke akar masalah, sering kali vandalisme lahir karena saluran aspirasi formal tidak berfungsi.
"Terkadang coretan di tembok lebih menyakiti telinga para pemimpin daripada aspirasi yang kita sampaikan. Mereka sangat sulit mendengar ketika kita menyampaikan secara demokratis. Namun, ketika kita menyampaikan melalui tembok, mereka bak kepanasan dan langsung mencoba untuk menghapus aspirasi kita." ucap narasumber vertex yang tidak ingin diketahui indentitasnya.
Coretan di jalan bukan muncul tiba-tiba. Ia adalah akumulasi rasa frustrasi, rasa tidak didengar, dan kebutuhan mendesak untuk bicara. Ketika kanal demokrasi macet, cat semprot jadi mikrofon.
Vandalisme mungkin tidak pernah bisa diterima semua orang. Ia bisa dipandang sebagai noda di wajah kota, tapi juga bisa dibaca sebagai suara jujur rakyat. Dari Jakarta hingga Paris, dari Tahrir hingga Hong Kong, tembok selalu jadi “media massa” rakyat yang paling murah, paling jujur, dan paling sulit dibungkam.
Selama masih ada ketidakadilan, coretan akan tetap ada. Selama suara rakyat tak didengar, jangan heran kalau tembok kota akan terus bicara lebih lantang daripada podium DPR.