![]() |
(Suasana Wisuda Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Foto: Abie Putra ) |
Ditulis Oleh: Shalsabhilla Putri
Jakarta, Vertex.Id — Malam sebelum wisuda, suasana kampus biasanya berubah. Jalanan dipenuhi cahaya, suara musik mengalun, dan sorakan dari adik tingkat bergema mengiringi langkah kakak tingkat. Inilah tradisi seruan jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta. Penyambutan H-1 yang bukan sekadar pesta, melainkan perayaan atas perjalanan panjang yang akhirnya tiba di garis akhir.
Seruan ini adalah simbol kebersamaan. Kakak tingkat yang esok hari akan mengenakan toga telah melewati berbagai rintangan: tugas yang menumpuk, deadline yang menyesakkan, hingga skripsi yang kerap menguras energi dan kesabaran. Sorakan lantang dari adik tingkat bukan hanya tanda ikut bergembira, tetapi juga pengakuan atas kerja keras yang selama ini jarang terlihat. Dalam teriakan itu terkandung rasa bangga, hormat, sekaligus doa agar langkah mereka selanjutnya dimudahkan.
Di tengah rutinitas akademik yang sering terasa individualistis, tradisi seruan justru menumbuhkan solidaritas. Ada rasa bahwa keberhasilan satu orang adalah kebanggaan bersama, dan kemenangan kakak tingkat akan menjadi inspirasi bagi yang masih berproses. Seruan itu adalah doa yang diucapkan dengan riuh, pengingat bahwa perjuangan tak pernah sendirian.
Bagi kakak tingkat, seruan di malam wisuda bukan hanya sekadar teriakan riuh yang memekakkan telinga. Itu adalah bentuk penghargaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Setelah bertahun-tahun berjuang dalam tekanan tugas, skripsi, hingga kegelisahan tentang masa depan, mereka akhirnya mendapat pengakuan bahwa usaha mereka tidak sia-sia dan keberhasilan mereka dirayakan.
“Rasanya lega sekaligus haru. Saat diseru, saya merasa perjuangan panjang itu akhirnya terbayar. Ada rasa bangga karena teman-teman menghargai proses kami,” ungkap Al Gifari salah seorang kakak tingkat Prodi Penerbitan.
Seruan itu ibarat salam perpisahan yang meriah. Besok, mereka akan duduk di bangku wisuda dengan toga dan senyum bahagia. Namun malam sebelumnya, mereka masih bisa merasakan hangatnya ikatan keluarga besar jurusan. Riuh seruan menjadi tanda bahwa sebelum benar-benar melangkah keluar dari gerbang kampus, ada momen terakhir untuk bersama-sama merayakan pencapaian itu.
Namun, tentu saja tradisi ini tidak boleh kehilangan arah. Dalam riuh sorakan, kita perlu selalu mengingat maknanya. Seruan bukanlah ajang hura-hura semata, melainkan penghormatan terakhir sebelum kakak tingkat melangkah ke gerbang baru kehidupan. Jika hanya berhenti pada keramaian, ia akan kehilangan esensinya. Maka, tanggung jawab generasi berikutnya adalah menjaga budaya seruan tetap bernilai, tetap sarat makna, agar tidak berubah menjadi sekadar rutinitas tanpa jiwa.
Budaya seruan juga memiliki fungsi sosial: menguatkan relasi antarangkatan. Kakak tingkat merasa dihargai, adik tingkat merasa ikut terlibat dalam perayaan keberhasilan. Relasi ini penting, karena kampus bukan sekadar ruang belajar akademik, melainkan juga ruang pembentukan karakter, solidaritas, dan rasa kebersamaan. Dalam teriakan seruan, terselip pelajaran bahwa setiap keberhasilan patut dirayakan bukan hanya secara individu, tetapi juga secar kolektif.
Pada akhirnya, budaya seruan adalah lebih dari sekadar tradisi. Ia adalah pengingat bahwa di balik toga dan ijazah, ada perjalanan panjang yang layak dirayakan bersama. Ia adalah cara jurusan menyatukan suara dalam satu kebanggaan. Dan bagi adik tingkat yang berteriak malam itu, seruan juga adalah janji: suatu hari nanti, giliran mereka yang akan diseru dengan bangga.