Ditulis Oleh: Shalsabhilla Putri
Mengapa orang baik sering kali berakhir dengan hati yang remuk? Mengapa ketulusan dibalas pengkhianatan, dan kebaikan disalah artikan sebagai kelemahan? Pertanyaan-pertanyaan ini tak jarang melintas dalam benak kita, terutama setelah melihat atau mengalami sendiri bagaimana dunia kadang tak adil pada mereka yang tulus.
Kata-kata “Orang baik selalu tersakiti” seringkali kita dengar di Media Sosial. Diskusi dan kesepakatan banyak orang di kolom komentar memperlihatkan bahwa hal ini menjadi masalah pada generasi sekarang ini. Tapi, benarkah begitu? Atau hanya perasaan kita saja?
Ketika Kebaikan Tak Diiringi Kesadaran
Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan melalui konsep kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ). Banyak orang baik memang memiliki empati tinggi, namun tidak semuanya mampu mengelola batas emosionalnya sendiri.
Kita sering merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain, bahkan rela mengorbankan kenyamanan pribadi demi menjaga hubungan. Lama-lama, perasaan tertekan, tidak dihargai, hingga kehilangan jati diri bisa muncul tanpa disadari.
Pandangan Ahli Tentang Fenomena Ini
Dr. Brené Brown, peneliti dari University of Houston yang terkenal lewat riset tentang kerentanan dan empati, mengatakan bahwa orang yang sangat peduli pada orang lain justru rentan mengalami kelelahan emosional (emotional exhaustion) jika tidak disertai kemampuan self-awareness dan self-regulation. Dalam bukunya The Gifts of Imperfection, Brown menjelaskan bahwa orang yang terbiasa mengabaikan kebutuhan diri demi menyenangkan orang lain akan mudah terjebak dalam siklus memberi tanpa batas, yang pada akhirnya menimbulkan rasa lelah, kecewa, bahkan kehilangan jati diri.
Lebih jauh, Brown menekankan pentingnya keberanian untuk menetapkan batas (boundaries) sebagai bentuk kasih sayang kepada diri sendiri. “Compassion isn’t just about giving endlessly, it's also about protecting your own energy,” tulisnya. Artinya, menjadi orang baik bukan berarti harus selalu tersedia untuk semua orang, apalagi jika itu mengorbankan kesehatan mental dan emosional diri sendiri.
Ahli lain pun memberikan pandangannya tentang fenomena ini. Menurut Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence, menyatakan bahwa orang dengan EQ tinggi memiliki kemampuan untuk mengelola emosi pribadi dan memahami emosi orang lain secara seimbang. Namun, ia juga mengingatkan bahwa empati tanpa batas bisa menjadi bumerang.
“Empathy is a key part of emotional intelligence but without self-regulation, it can lead to burnout and emotional drain”
Daniel Goleman, Dalam buku Emotional Intelligence. Artinya, seseorang bisa saja sangat empatik, tetapi jika tidak mampu menetapkan batasan atau mengenali sinyal kelelahan emosional, maka empati itu justru bisa melukai dirinya sendiri.
Dari pandangan para ahli, jelas bahwa menjadi orang baik bukanlah kesalahan, tetapi menjadi baik tanpa kesadaran diri bisa menjadi sumber luka yang tak terlihat. Kebaikan hati memang mulia, tapi jika tidak diiringi kemampuan untuk mengenali batas, memahami kebutuhan diri, dan mengelola emosi secara sehat, maka kebaikan itu bisa berubah menjadi beban yang perlahan menggerogoti dari dalam.
Empati yang sehat membutuhkan keseimbangan antara memberi dan menjaga. Seperti yang dikatakan Brown dan Goleman, bukan berarti kita berhenti peduli pada orang lain, tapi kita juga harus belajar peduli pada diri sendiri. Karena pada akhirnya, menjaga diri bukanlah bentuk egoisme, melainkan fondasi agar kita bisa terus memberi tanpa kehilangan diri di dalamnya.
Belajar Menjadi Baik yang Sehat
Kebaikan tidak seharusnya membuat seseorang tersesat dalam hubungan yang timpang atau terus-menerus merasa terluka. Justru, dengan memahami konsep kecerdasan emosional, kita bisa belajar bagaimana menjadi “baik yang sehat” yakni sosok yang empatik, tapi tetap punya kendali atas dirinya sendiri.
Menjadi baik bukan berarti menjadi martir. Dunia memang membutuhkan lebih banyak orang yang peduli dan tulus, tetapi dunia juga butuh orang-orang yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus menjaga diri, dan kapan harus berkata cukup.
Menjadi baik yang sehat berarti:
- Berani berkata tidak, ketika sesuatu tidak sejalan dengan nilai atau kapasitas kita.
- Mengenal kebutuhan diri, dan tidak merasa bersalah saat memilih untuk istirahat, menjauh, atau menolak.
- Tidak menukar harga diri demi diterima, karena penerimaan sejati datang dari orang yang menghargai kita apa adanya.
- Membangun relasi yang setara, di mana memberi dan menerima berjalan dua arah, bukan satu pihak saja yang terus berkorban
Akhirnya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: untuk siapa sebenarnya semua kebaikan ini kita berikan? Jika jawabannya adalah untuk diterima, dicintai, atau dianggap berharga oleh orang lain maka bisa jadi kita sedang menaruh beban terlalu besar pada kebaikan itu sendiri. Padahal, kebaikan sejati seharusnya lahir dari rasa penuh, bukan dari kekosongan yang ingin diisi.
Menjadi orang baik bukan soal menjadi sempurna di mata semua orang. Itu soal keberanian untuk tetap lembut di dunia yang kadang keras, sekaligus cerdas dalam melindungi diri dari luka yang tak perlu.
Jadi, jika kita merasa sering disakiti meski sudah berbuat baik, mungkin saatnya melihat ke dalam: apakah kita sudah berbaik hati pada diri sendiri?
Sejatinya, orang yang benar-benar baik adalah mereka yang bisa memberi tanpa kehilangan diri, mencintai tanpa melukai diri, dan peduli tanpa perlu menanggung semua beban dunia.
Dunia mungkin tidak selalu adil pada orang baik. Tapi kita bisa memilih untuk menjadi baik yang kuat, baik yang sadar, dan baik yang tetap pulang pada diri sendiri. Seperti kata Brené Brown, "Boundaries are the distance at which I can love you and me simultaneously.” Mungkin, inilah saatnya kita berhenti hanya jadi baik dan mulai jadi baik yang sehat.
telah diupload oleh penulis pada: Klikwarta.com
jangan pernah berhenti menjadi orang baik
BalasHapus