![]() |
(Gaya bicara yang kontroversi membuat Purbaya dikenal banyak masyarakat. Ilustrasi: Shalsabhilla Putri) |
Ditulis Oleh: Shalsabhilla Putri
Beberapa pekan terakhir, nama Purbaya Yudi Sadewa tak pernah lepas dari percakapan publik. Sosok yang baru saja diangkat sebagai Menteri Keuangan ini dijuluki “Menteri Koboy”. Julukan itu lahir bukan tanpa alasan ia bukan tipe pejabat yang berbicara dengan bahasa kaku atau bersembunyi di balik teks pidato. Kata-katanya sering blak-blakan, terkadang nyeleneh, dan mudah viral di linimasa.
Pernyataannya yang menyebut “gaji menteri kecil,” “IMF itu bohong,” hingga menyinggung soal “CEO BUMN lebih sibuk main golf” sontak memenuhi FYP warganet. Bagi sebagian orang, gaya seperti ini terasa segar, berbeda dari wajah birokrasi yang penuh basa-basi. Namun, bagi yang lain, keberaniannya dianggap kelewat batas. Popularitas di media sosial pun menjadi pedang bermata dua: bisa mendongkrak citra, tapi juga rawan menjatuhkan.
Tak hanya dirinya, sang anak pun ikut terseret sorotan. Sebagai trader kripto yang vokal di media sosial, ia kerap melontarkan pernyataan kontroversial. Bahkan sempat diduga menyinggung Sri Mulyani sebagai “agen IMF”. Bagi publik, fenomena ini makin mempertegas bahwa gaya bicara “ceplos-ceplos” bukan hanya karakter pribadi, melainkan kultur komunikasi keluarga.
Dari Retorika ke Kebijakan
Di balik gaya komunikasinya yang dianggap koboy, ada filosofi ekonomi yang sederhana uang negara kalau tidak dipakai, justru pemborosan. Purbaya percaya masalah utama ekonomi bukanlah sekadar suku bunga, melainkan likuiditas. Solusinya jelas: menggelontorkan uang agar beredar di masyarakat.
Langkah ini sudah ia tunjukkan lewat kebijakan menaruh Rp200 triliun dana pemerintah ke bank-bank Himbara. Logikanya, dana yang “nganggur” bisa berlipat ganda dalam bentuk kredit, membuka lapangan kerja, dan memicu pertumbuhan. Ia pun tak segan menekan kementerian lain agar segera membelanjakan anggaran sebelum Oktober 2025. Baginya, menahan dana hanya memperlambat denyut ekonomi.
Namun, di sinilah resiko mengintai. Kenaikan money supply tanpa peningkatan produksi bisa melahirkan inflasi, bahkan hiper inflasi. Data tahun-tahun sebelumnya membuktikan, pencetakan uang bisa mendorong harga melambung, sementara daya beli justru melemah. Gaya bicara koboy memang memikat, tetapi ekonomi tetap tunduk pada hukum keseimbangan.
Teori Pelanggaran Ekspektasi
Fenomena komunikasi Purbaya dapat dibaca lewat Expectancy Violation Theory. Publik biasanya berekspektasi seorang Menteri Keuangan berbicara formal, penuh data, dan hati-hati seperti pendahulunya, Sri Mulyani. Purbaya justru mematahkan ekspektasi itu.
Sebagian orang merespons positif, menganggap gaya bicara koboy sebagai angin segar. Ia tampil berani, menantang status quo, dan terasa lebih dekat dengan rakyat biasa. Sebagian lain menilai gaya itu tidak pantas, menodai wibawa pejabat tinggi negara. Dalam teori komunikasi, pelanggaran ekspektasi bisa menghasilkan dua respon ekstrem: kekaguman atau penolakan.
Bagi Purbaya, strategi ini tampaknya disengaja. Dengan bahasa yang lugas dan kadang nyeleneh, ia berusaha membuat kebijakan fiskal yang rumit terasa lebih sederhana. Ia ingin publik tidak sekadar mendengar angka, tetapi ikut merasakan urgensi dari kebijakan tersebut. Namun, popularitas bukanlah jaminan. Jika kebijakan gagal membuahkan hasil, gaya koboy yang dulu dielu-elukan bisa berubah menjadi bahan olok-olok.
Antara Keberanian dan Resiko
Purbaya membangun citra sebagai menteri yang berani mendobrak tradisi. Ia menolak formalitas, memilih gaya bicara yang apa adanya. Dalam kacamata psikologi komunikasi, keberanian ini adalah strategi untuk mengikat perhatian publik, membangun citra “pemimpin berbeda”.
Tetapi, setiap kata yang keluar darinya adalah taruhan. Publik yang sudah terbiasa dimanjakan oleh retorikanya akan menagih bukti. Tanpa hasil nyata, kata-kata bisa kehilangan makna. Apalagi jika risiko inflasi dan stagnasi benar terjadi, publik tak hanya menilai kebijakan, melainkan juga gaya komunikasi yang melatarbelakanginya.
Dengan segala kontroversinya, Purbaya menunjukkan bahwa komunikasi pejabat bukan lagi sekadar penyampaian informasi, melainkan juga strategi membentuk persepsi. Apakah ia akan dikenang sebagai “Menteri Koboy” yang sukses menjinakkan inflasi, atau justru sebagai simbol retorika yang gagal? Waktu dan hasil kebijakanlah yang akan menjawabnya.