![]() |
(Tekanan dunia kerja yang tidak sebanding dengan apa yang didapatkan pemagang. Foto: Freepik.com) |
Ditulis Oleh: Shalsabhilla Putri
Magang sering kali dipromosikan sebagai pintu masuk menuju dunia kerja. Bagi mahasiswa atau fresh graduate, magang dianggap sebagai kesempatan emas untuk menambah pengalaman, memperluas jaringan, dan mempelajari langsung cara kerja industri. Narasi ini terdengar manis, seolah-olah magang adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Namun, dibalik itu semua, ada realitas pahit yang jarang dibicarakan: praktik magang unpaid yang justru menjerat banyak anak muda dalam lingkaran eksploitasi.
Di permukaan, magang unpaid (tidak dibayar) kerap dipoles dengan kata-kata indah seperti "kesempatan belajar," "ajang pengembangan diri," atau "pintu menuju karier." Perusahaan pun dengan santainya menekankan bahwa imbalannya bukan uang, melainkan pengalaman. Masalahnya, pengalaman tidak bisa membayar tagihan listrik, biaya kos, atau ongkos transportasi. Mahasiswa dan fresh graduate yang ikut program semacam ini sering kali dipaksa untuk berkorban lebih banyak dibanding apa yang mereka dapatkan.
Fenomena magang unpaid ini pada akhirnya menciptakan kesenjangan. Mereka yang berasal dari keluarga mampu mungkin bisa bertahan tanpa gaji selama berbulan-bulan. Sementara itu, mereka yang tidak punya privilege finansial terpaksa mundur sebelum sempat mulai. Dengan kata lain, magang unpaid bukan hanya bentuk eksploitasi, tapi juga memperlebar jurang ketidakadilan sosial yang sudah ada.
Mengapa Perusahaan Melakukannya?
Perusahaan biasanya punya alasan klasik: “magang adalah kesempatan belajar, bukan bekerja.” Sekilas terdengar masuk akal, tapi dalam praktiknya, batas antara belajar dan bekerja sangat tipis. Intern sering diberi pekerjaan yang sama beratnya dengan karyawan tetap dari mengelola media sosial, membuat laporan, hingga ikut rapat strategi. Jika kontribusi intern jelas menguntungkan perusahaan, bukankah seharusnya mereka mendapat bayaran?
Alasan lain yang sering dipakai adalah “perusahaan memberi pengalaman, bukan gaji.” Narasi ini seolah menempatkan pengalaman sebagai kompensasi utama. Padahal, pengalaman tidak bersifat eksklusif. Intern bisa belajar di tempat lain, di ruang yang lebih sehat, tanpa harus menanggung beban kerja gratis. Dengan cara ini, perusahaan sebenarnya sedang berhemat biaya operasional dengan memanfaatkan idealisme anak muda.
Lebih ironis lagi, ada perusahaan besar yang jelas-jelas mampu membayar, tapi tetap menormalisasi praktik unpaid internship. Mereka menjadikan ini sebagai tradisi, bahkan seakan-akan menjadi *syarat wajib* untuk masuk dunia kerja. Akhirnya, magang unpaid bukan sekadar celah, tapi berubah menjadi budaya yang terus direproduksi tanpa henti.
Dampak Sosial yang Tersembunyi
Magang unpaid bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah struktural. Kesempatan magang di perusahaan besar sering hanya bisa diakses oleh mahasiswa yang secara finansial mapan. Mereka mampu menanggung biaya hidup, ongkos transportasi, bahkan akomodasi jika perlu. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah sering kali harus mengubur mimpi karena tidak sanggup membiayai magang tanpa penghasilan.
Dampak jangka panjangnya adalah reproduksi ketidakadilan sosial. Magang unpaid menciptakan sistem eksklusif di mana hanya orang-orang yang memiliki keberuntungan ekonomi yang bisa mengumpulkan portofolio berharga. Ketika memasuki dunia kerja profesional, mereka otomatis lebih unggul dibanding mahasiswa lain yang terpaksa absen dari pengalaman tersebut. Pada akhirnya, jurang kesenjangan semakin melebar, bukan mengecil.
Lebih dari itu, praktik ini juga memengaruhi kesehatan mental. Intern yang menjalani magang unpaid sering merasa tertekan, bukan hanya karena beban kerja, tapi juga karena harus memikirkan biaya hidup. Alih-alih fokus belajar, mereka justru sibuk mencari cara agar tetap bisa bertahan. Situasi ini menunjukkan bahwa magang unpaid tidak hanya mengeksploitasi tenaga, tetapi juga mengorbankan kesejahteraan psikologis.
Tidak ada yang menolak nilai dari sebuah pengalaman. Namun, pengalaman tidak bisa membayar kontrakan, kuota internet, atau bahkan sekadar makan siang. Argumen bahwa “pengalaman lebih penting dari uan