![]() |
(oversharing sering terjadi ketika kira tidak mengetahui jarak antara privasi dan ruang publik. Freepik.com) |
Ditulis oleh: Shalsabhilla Putri
Fenomena ini kian marak di era digital, di mana batas antara ruang privat dan ruang publik semakin tipis. Contohnya, baru-baru ini publik dikejutkan oleh tersebarnya rekaman percakapan pribadi antara aktor Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoeven. Rekaman itu menyulut spekulasi warganet tentang kondisi rumah tangga mereka.
Kejadian seperti ini menyoroti kecenderungan yang semakin umum terjadi. Banyak orang, baik publik figur maupun masyarakat biasa membagikan detail kehidupan pribadi mereka di media sosial. Di sinilah istilah oversharing mulai sering terdengar dan diperbincangkan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan oversharing?
Apa itu Oversharing?
Oversharing adalah kondisi ketika seseorang membagikan terlalu banyak informasi pribadi kepada orang lain, terutama di ruang publik seperti media sosial. Mulai dari curhatan cinta, masalah keluarga, konflik dengan teman, hingga hal-hal yang seharusnya bersifat sangat pribadi semuanya bisa muncul di linimasa.
Menurut Dosen Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Tiara Diah Sosialita MPsi oversharing adalah kondisi ketika seseorang tidak bisa membatasi diri sendiri dalam memberikan informasi pribadinya kepada publik.
"Meskipun oversharing sudah menjadi hal yang dianggap wajar di masyarakat, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Dikarenakan ada konsekuensi yang besar dari oversharing itu sendiri," jelas Tiara dalam laman UNAIR.
Menurut Tiara, orang memiliki beragam alasan untuk oversharing. Alasan tersebut misalnya memiliki trauma seperti diabaikan orang tua, perundungan, hingga tidak pernah diapresiasi. Selain itu, gangguan kecemasan dan kesepian juga bisa menimbulkan oversharing.
Alasan-alasan inilah yang mendorong seseorang merasa perlu membagikan kisah pribadinya kepada publik, meski tak selalu disadari dampaknya. Dalam beberapa kasus, tindakan ini bahkan bisa menimbulkan kegaduhan apalagi jika menyangkut publik figur yang kehidupannya menjadi sorotan.
![]() |
(Pentingnya mengetahui contoh-contoh oversharing agar tidak belerbihan. Freepik.com) |
Contoh Oversharing
Salah satu contoh nyata dari fenomena oversharing dapat dilihat pada kasus yang menimpa aktor Baim Wong. Pada awal Mei 2025, publik dikejutkan dengan beredarnya sebuah rekaman percakapan pribadi antara Baim dan istrinya, Paula Verhoeven. Dalam rekaman tersebut terdengar suara yang diduga membahas persoalan rumah tangga mereka, yang kemudian menyebar luas di media sosial dan memicu berbagai spekulasi serta komentar dari warganet.
Menanggapi hal ini, Baim menyatakan bahwa ia sendiri tidak mengetahui bagaimana rekaman tersebut bisa tersebar. Ia mengaku menjadi korban karena privasinya telah dilanggar dan kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik tanpa persetujuan. Kasus ini memperlihatkan bahwa oversharing tak selalu terjadi karena niat individu untuk membuka diri secara berlebihan. Terkadang, informasi personal dapat tersebar secara tidak sengaja atau tanpa izin, namun tetap memunculkan konsekuensi serupa: tekanan psikologis, rusaknya citra diri, hingga hilangnya kendali atas narasi pribadi.
Di sisi lain, kasus oversharing juga bisa muncul dari individu itu sendiri, bukan karena kebocoran informasi tanpa izin melainkan sebagai pilihan sadar untuk membagikan pengalaman pribadi di ruang publik. Seperti yang terjadi pada Siti Jamumall, seorang influencer asal Malaysia.
Pada pertengahan Mei 2025, Siti tengah melakukan siaran langsung di TikTok untuk mempromosikan produk jualannya. Dalam suasana yang tampak santai dan personal, Siti mulai membagikan cerita tentang kehidupan rumah tangganya, termasuk dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pernah ia alami dari sang suami, Khairul Aiman Abdul Kudus.
Meskipun kemungkinan besar niat Siti adalah untuk berbagi pengalaman atau memberi pelajaran hidup, langkah tersebut justru berbalik menjadi bumerang. Tidak lama setelah pengakuan itu, Khairul muncul dalam siaran langsung dan secara emosional menjatuhkan talak dua kepada Siti tepat di hadapan ribuan penonton yang sedang menonton live. Siti yang sedang hamil lima bulan saat itu tampak terkejut, menangis, dan berusaha menenangkan diri sambil tetap berada di depan kamera.
Apa yang dialami Siti merupakan bentuk nyata dari oversharing, ketika informasi yang sangat personal dan sensitif dibuka ke ruang publik tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ribuan orang yang menyaksikan siaran langsung tersebut seketika berubah menjadi komentator, bahkan “hakim virtual” yang menilai, menyebarkan ulang potongan video, dan menciptakan opini terhadap kehidupan rumah tangga orang lain.
Fenomena ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara keterbukaan dan pembukaan aib. Media sosial memang menawarkan ruang untuk berekspresi dan mencari dukungan, namun tanpa kesadaran batas dan kontrol diri, platform ini juga bisa menjadi medan yang memperbesar luka dan mengubah tragedi personal menjadi tontonan massal. Oversharing, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun kebocoran dari pihak luar, menuntut kita untuk lebih bijak dalam menempatkan cerita pribadi di ruang digital yang tak memiliki sekat.
Dampak Oversharing
Dampak dari oversharing pun tidak bisa dianggap sepele. Kasus beredarnya rekaman pribadi Baim Wong dan Paula Verhoeven maupun kasus viral yang menimpa Siti Jamumall menunjukkan bahwa oversharing di media sosial bukan sekadar soal membuka diri, tetapi dapat membawa konsekuensi besar, baik secara psikologis, sosial, maupun reputasional.
Menurut Tiara Diah Sosialita, M.Psi, Dosen Psikologi Universitas Airlangga, oversharing kerap muncul dari kondisi emosional yang belum tuntas, seperti trauma masa lalu, rasa kesepian, atau gangguan kecemasan. Ketika seseorang tidak memiliki ruang aman untuk bercerita, media sosial sering kali menjadi pelampiasan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Hal ini tampak dalam kasus Baim Wong dan Paula memperlihatkan bahwa saat oversharing tidak dilakukan secara sengaja, kebocoran informasi pribadi tetap bisa menimbulkan tekanan, spekulasi publik, dan kerugian emosional bagi yang bersangkutan. Di sisi lain, kasus Siti Jamumall yang kemungkinan besar membagikan pengalamannya tentang kekerasan dalam rumah tangga karena dorongan untuk didengar dan divalidasi. Namun, alih-alih mendapat ruang aman, curhat tersebut justru memicu konflik terbuka dengan suaminya dan disaksikan secara real-time oleh ribuan orang.
Kedua kasus ini memperlihatkan bahwa di era digital, batas antara ruang pribadi dan ruang publik semakin kabur. Oversharing, baik yang disengaja maupun tidak, dapat memperbesar dampak dari luka yang dibagikan. Beberapa dampak oversharing jika dirasa sudah berlebihan:
![]() |
(oversharing membuat sesuatu yang sifatnya pribadi menjadi konsumsi publik. Freepik.com) |
1. Tekanan Mental dan Emosional
Baim Wong mengaku bingung dan tertekan atas bocornya percakapan pribadinya dengan Paula. Rekaman yang seharusnya bersifat pribadi itu justru menjadi konsumsi publik dan mengundang ribuan komentar, opini, bahkan spekulasi tentang kondisi rumah tangga mereka. Begitu pula dengan Siti, setelah siaran langsungnya viral Siti harus menghadapi tekanan emosional yang besar: sedang hamil lima bulan, ditalak di depan ribuan penonton, dan menjadi objek komentar publik. Dalam kedua kasus ini, mereka harus menanggung tekanan psikologis dari perhatian yang berlebihan, tanpa ruang pemulihan yang layak.
2. Hilangnya Privasi dan Kontrol atas Cerita Pribadi
Baik dalam bentuk siaran langsung maupun rekaman suara, ketika informasi pribadi telah menyebar di media sosial sangat sulit untuk mengontrol dampaknya. Potongan video dan audio menjadi bahan diskusi publik, bahkan saat pemilik cerita tidak pernah bermaksud membagikannya secara luas.
3. Reputasi yang Terbentuk dari Sudut Pandang Publik
Oversharing kerap membuat seseorang dinilai dari sebagian kecil kisah yang ditampilkan secara online. Baim Wong dituduh sengaja membocorkan konflik rumah tangganya demi atensi. Padahal, konteks utuh dari kisah mereka tidak diketahui publik. Sementara Siti sempat dicap sebagai pencari simpati. Persepsi inilah yang kemudian membentuk reputasi yang tidak selalu adil dan sulit diluruskan.
4. Retaknya Hubungan dan Munculnya Konflik Baru
Kasus Baim dan Paula, meskipun belum ada pernyataan resmi tentang kondisi hubungan mereka pasca tersebarnya rekaman, tekanan publik dan spekulasi bisa memunculkan konflik baru yang semula tidak ada. Ketika konflik internal ikut dibawa ke ruang publik baik disengaja maupun tidak, risikonya adalah munculnya masalah baru yang lebih kompleks apalagi jika menyangkut publik figur. Sementara itu dalam kasus Siti, siaran langsung yang memperlihatkan konflik dengan sang suami justru berakhir pada talak yang diucapkan di depan ribuan penonton. Situasi ini bukan hanya mempermalukan secara emosional, tetapi juga memperparah kondisi hubungan yang sebelumnya mungkin masih bisa diselesaikan secara tertutup.
5. Mendorong Normalisasi Privasi sebagai Tontonan
Ketika momen pribadi seperti perceraian atau pertengkaran rumah tangga menjadi viral dan ramai dibagikan ulang, terjadi proses normalisasi atas konsumsi privasi. Masyarakat mulai terbiasa menyaksikan konflik rumah tangga atau penderitaan emosional sebagai bagian dari hiburan harian di media sosial. Ini berbahaya, karena mengikis empati dan menjadikan tragedi orang lain sebagai tontonan.
Di sinilah pentingnya refleksi bagaimana seharusnya kita menyikapi kebutuhan untuk berbagi di tengah budaya digital yang serba terbuka?
Bijak dalam Berbagi
Menurut para ahli psikologi, termasuk Tiara Diah Sosialita, M.Psi., penting bagi setiap individu untuk memiliki kesadaran emosional sebelum membagikan hal-hal pribadi di media sosial. Oversharing sering kali bukan soal mencari perhatian, melainkan muncul karena tidak adanya ruang aman untuk bercerita.
Para ahli menyarankan agar emosi disalurkan lewat cara yang lebih sehat, seperti berbicara dengan orang terpercaya atau berkonsultasi dengan profesional. Sebelum mengunggah sesuatu, penting untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar perlu dibagikan? Apakah akan memberi manfaat atau justru menambah luka?”
Menjaga privasi bukan berarti menutup diri, melainkan bentuk perlindungan terhadap kesehatan mental dan relasi pribadi. Di era digital, kebijaksanaan dalam berbagi adalah kunci, karena tidak semua hal layak menjadi konsumsi publik dan tidak semua orang perlu tahu segalanya tentang hidup kita.