Aku masih ingat betul suatu malam yang tampaknya biasa, namun justru menjadi titik balik dalam cara pandangku terhadap dunia. Malam itu langit cerah, bintang-bintang bersinar tenang, dan angin malam berembus lembut. Aku duduk sendiri di teras rumah, melamun, mencoba mencari makna dari segala hal yang akhir-akhir ini terasa rumit dan melelahkan.
Tiba-tiba, seorang pria melintas. Ia berjalan sempoyongan, pakaiannya kusut, dan napasnya tercium bau alkohol yang kuat. Seorang pemabuk. Seseorang yang dalam pandangan umum mungkin sudah dianggap "gagal dalam hidup." Ia menghentikan langkahnya, menatapku sebentar, lalu berkata, “Kau tahu, dunia ini sebenarnya indah... yang membuatnya terlihat kejam adalah batas-batas yang kita buat sendiri.”
Aku hanya diam, terkejut oleh caranya berbicara yang tak terduga. Ia lalu duduk tak jauh dariku, dan mulai bercerita. Tentang hidupnya, tentang bagaimana ia pernah punya keluarga, tentang pekerjaan yang hilang, dan tentang dunia yang terus berjalan tanpa menoleh pada mereka yang terpinggirkan.
Tanpa diminta, ia mulai berbicara. Kata-katanya terkesan acak, tapi entah bagaimana menyentuh. Ia berbicara tentang kehidupan, tentang pilihan, dan tentang bagaimana sistem kadang menjerat orang sampai kehilangan arah.
“Ayah itu salah karena mencuri, iya. Tapi membiarkan anaknya kelaparan juga salah kan?,” katanya dengan mata yang berkaca. Dalam mabuknya, dia mengajarkan tentang moralitas yang tidak sesederhana hitam dan putih. Tentang manusia yang seringkali terjebak dalam sistem, bukan karena mereka ingin menjadi buruk tapi karena mereka tidak punya pilihan lain. Dunia tidak sekejam itu, katanya, tapi manusia sering kali terlalu cepat menghakimi sebelum mencoba memahami.
Malam itu aku belajar bahwa tidak semua yang tampak buruk benar-benar buruk, dan tidak semua yang terlihat baik selalu baik. Ada latar belakang, ada tekanan, ada luka. Disitulah letak kemanusiaan kita diuji bukan pada seberapa cepat kita menilai, tetapi seberapa jauh kita mau memahami.
Memahami Makna dari Sebuah Kejadian
Sejak malam itu, aku mulai memandang hidup secara berbeda. Bahkan pada pengalaman pribadi yang menyakitkan seperti saat dikhianati seorang teman. Dulu, aku langsung merasa marah dan kecewa. Tapi kemudian aku mulai bertanya apa yang membuat dia berbuat seperti itu? Apa mungkin ada hal yang tak kuketahui? Barangkali ada luka yang belum tersembuhkan, atau mungkin dia hanya butuh dimengerti.
Aku tidak membenarkan tindakannya, tapi aku belajar bahwa setiap peristiwa membawa pelajaran. Bahwa luka bukan hanya untuk diratapi tapi juga untuk dimaknai. Kesalahan bukan untuk dikutuk tapi untuk dipelajari. Bahwa manusia tidak bisa dikurung dalam label baik atau buruk semata.
Aku mulai lebih sabar, lebih tenang dalam menghadapi orang lain. Tidak buru-buru menghakimi. Aku belajar mendengar, aku belajar memberi ruang, dan yang paling penting aku belajar bahwa mencintai kehidupan bukan berarti menuntut kesempurnaan tapi menerima segala ketidaksempurnaan yang ada di dalamnya.
Menikmati Hidup
Banyak yang mengatakan bahwa sudut pandangku ini naif. Bahwa aku terlalu memaafkan, terlalu lembut, dan mudah dimanfaatkan. Tapi bagiku, memahami bukanlah kelemahan. Justru dari pemahaman itu aku belajar menahan diri untuk tidak ikut menyakiti. Aku belajar menempatkan diriku di posisi orang lain. Dari situ aku menemukan ketenangan yang tidak bisa dibeli.
Memaknai setiap kejadian sebagai bagian dari proses menjadikanku lebih utuh. Aku tidak takut lagi untuk gagal, tidak malu lagi untuk mengakui kesalahan karena aku tahu, dari sanalah pertumbuhan dimulai. Cinta pada akhirnya bukan hanya tentang perasaan manis, tapi tentang keberanian untuk memahami, menerima, dan tetap berjalan meski hati pernah tersakiti.
Hidup ini bukan soal benar atau salah. Bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang seberapa dalam aku bisa merasakan, seberapa tulus aku bisa mencintai bukan hanya orang lain, tapi juga diri sendiri dan hidup itu sendiri. Dengan cinta, aku bisa melihat makna di balik kesedihan. Aku bisa menemukan harapan dalam keterpurukan. Aku bisa terus berjalan, bukan karena hidup ini mudah, tapi karena aku telah memilih untuk tetap mencintai meski tak selalu dimengerti.
Terkadang kedewasaan mental sangat membantu dalam dunia yang kejam ini
BalasHapus