![]() |
(Saham Bank Himbara dan IHSG menguat. Ilustrasi Shalsabhilla Putri) |
Ditulis Oleh: Shalsabhilla Putri
Jakarta, Vertex.Id — “200 triliun kok dikasih ke bank, itu namanya ngasih makan orang kaya.” Kalimat seperti ini ramai beredar di media sosial, sesaat setelah Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan kebijakan menempatkan dana jumbo di bank-bank Himbara.
Namun di lantai bursa, reaksi justru sebaliknya. Investor bersorak, pasar menyambut, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus 8.000 poin untuk pertama kalinya dalam sejarah. Angka ini bukan sekadar simbol psikologis, melainkan juga rekor yang menandai optimisme pasar terhadap kebijakan fiskal baru.
Meski begitu, di tengah euforia tersebut, pertanyaan besar menggantung di benak masyarakat. Apakah dana sebesar itu benar-benar akan mengalir ke rakyat kecil dalam bentuk bunga kredit yang lebih rendah? Atau justru berhenti di bank, membuat segelintir kelompok semakin kuat sementara mayoritas masih berkutat dengan biaya hidup yang tinggi?
Menteri Baru, Gaya Baru
Nama Purbaya Yudhi Sadewa bukan hal asing di kalangan ekonomi. Ia pernah menjabat di sejumlah posisi strategis, termasuk sebagai pejabat di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan latar belakang akademisi dan reputasi sebagai ekonom kritis, penunjukannya sebagai Menteri Keuangan menimbulkan harapan baru.
Pasar menilai Purbaya sebagai sosok teknokrat yang tak segan mengambil langkah out of the box. Hal ini terlihat jelas hanya sepekan setelah ia dilantik. Alih-alih fokus pada penyesuaian anggaran atau kebijakan pajak, Purbaya langsung mengumumkan kebijakan spektakuler menyalurkan Rp200 triliun dana pemerintah ke bank-bank Himbara.
Keputusan ini dianggap sebagai “gebrakan” yang berbeda dari pendahulunya. Jika sebelumnya Kemenkeu cenderung berhati-hati menahan dana di Bank Indonesia untuk menjaga cadangan, kini pemerintah memilih langkah agresif. Purbaya beralasan, “Daripada uang tidur, lebih baik diputar untuk mendukung dunia usaha.”
Kredit Topang Ekonomi
Secara resmi, Kemenkeu menyebut kebijakan ini dirancang untuk memperkuat likuiditas perbankan. Dengan tambahan dana segar, bank diharapkan mampu memperbesar penyaluran kredit ke dunia usaha, khususnya sektor UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Pemerintah juga berharap langkah ini akan menurunkan suku bunga kredit. Jika likuiditas longgar, bank punya ruang untuk menekan bunga pinjaman. Bagi UMKM, penurunan bunga sekecil apa pun bisa sangat berarti, terutama di tengah tekanan biaya operasional yang terus naik.
Lebih jauh, kebijakan ini diproyeksikan sebagai sinyal bahwa negara hadir aktif di pasar keuangan. Dengan mengalirkan dana ke bank, pemerintah ingin menunjukkan komitmen terhadap pertumbuhan ekonomi domestik, sekaligus menegaskan bahwa mereka berani mengambil risiko demi menstabilkan pasar.
Euforia di Pasar Modal
Kebijakan Purbaya langsung disambut euforia oleh pelaku pasar. Dalam hitungan jam setelah pengumuman, IHSG menguat signifikan dengan dukungan kuat dari sektor perbankan. Saham-saham bank Himbara seperti, Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI melonjak tajam, menjadi motor utama penggerak indeks.
Lonjakan ini dianggap logis. Dengan masuknya dana Rp200 triliun, investor menilai bank-bank pelat merah akan memiliki likuiditas besar untuk ekspansi kredit. Ekspektasi tersebut membuat saham Himbara jadi incaran, bahkan beberapa di antaranya sempat menyentuh level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, sejumlah analis mengingatkan agar euforia ini tidak menutup mata terhadap risiko. Kenaikan saham Himbara mencerminkan optimisme pasar finansial, tetapi belum tentu sejalan dengan kondisi riil ekonomi di lapangan. Pertanyaannya tetap sama apakah keuntungan bank akan ikut menetes ke masyarakat luas?
Langkah “Cowboy” Purbaya
Menteri Keuangan Purbaya menegaskan kebijakan ini bukan sekadar bailout, melainkan strategi memperkuat “tulang punggung” perbankan nasional. Himbara dipilih karena memiliki jaringan luas dan rekam jejak dalam mendukung pembiayaan pembangunan.
“Dana ini akan menjadi amunisi untuk mendorong kredit produktif, dari UMKM hingga proyek infrastruktur strategis,” ujar Purbaya dalam konferensi pers.
Namun, kritik tetap mengemuka. Banyak pihak menilai dana sebesar itu seharusnya dialirkan langsung ke sektor riil, bukan melalui bank. Kekhawatiran terbesar: keuntungan hanya berhenti di kalangan elit bisnis.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyambut langkah ini dengan nada hati-hati. Ia menilai, penempatan dana akan memperkuat transmisi moneter. “Penempatan dana pemerintah di perbankan menambah likuiditas. Yang penting, penyaluran ke sektor produktif harus dijaga agar inflasi tetap terkendali,” katanya.
Dari kalangan investor ritel, Bennix, investor dan konten kreator saham, menyoroti peluang sekaligus risiko. “Rp200 triliun yang dikucurkan pemerintah ke Himbara ini jelas langkah besar dan penuh risiko. Tapi di balik risiko itu ada peluang. Kalau likuiditas ini benar-benar dipakai untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif, dampaknya bisa luar biasa untuk ekonomi dan juga buat investor jangka panjang. Yang penting, jangan sampai dana ini hanya parkir di bank tanpa menyentuh masyarakat luas,” ujarnya.
Mekanisme 200T
Penempatan Rp200 triliun ini pada akhirnya tidak hanya soal angka di neraca keuangan bank, tapi juga berhubungan langsung dengan peluang kerja masyarakat. Dengan akses kredit yang lebih mudah, perusahaan bisa memperbesar kapasitas produksi, membuka cabang baru, hingga berinvestasi pada proyek-proyek baru.
Dengan tambahan likuiditas, bank memiliki ruang lebih besar untuk mempercepat penyaluran kredit. Secara teori, ini akan menggerakkan roda ekonomi karena pelaku usaha mendapat modal segar untuk ekspansi. Lapangan kerja baru pun bisa tercipta.
Namun tantangannya besar. Bank harus memastikan kredit mengalir ke debitur yang benar-benar produktif. Jika salah sasaran, bukan pertumbuhan yang didapat, melainkan potensi kredit macet yang membebani.
Dampak ke Lapangan Kerja
Penempatan Rp200 triliun ini pada akhirnya tidak hanya soal angka di neraca keuangan bank, tapi juga berhubungan langsung dengan peluang kerja masyarakat. Dengan akses kredit yang lebih mudah, perusahaan bisa memperbesar kapasitas produksi, membuka cabang baru, hingga berinvestasi pada proyek-proyek baru.
Setiap ekspansi berarti tambahan tenaga kerja. UMKM yang sebelumnya kesulitan modal bisa merekrut pegawai tambahan, pabrik yang mendapat kredit baru bisa meningkatkan kapasitas, dan perusahaan jasa bisa memperluas operasinya. Dari situlah lapangan kerja baru tercipta.
Efek berantai juga terjadi ketika pekerja mendapat penghasilan, daya beli masyarakat naik, permintaan meningkat, dan pada gilirannya memacu pertumbuhan usaha lain. Jadi, jika benar-benar berjalan efektif, Rp200 triliun ini bisa menjadi pemicu rantai pertumbuhan yang panjang.
Mudah-mudahan target IHSG 36.000 bisa tercapai
BalasHapus