Prediksi Perkembangan Kebenaran Jurnalisme di Indonesia

(Freepik.com)

Ditulis oleh: Shalsabhilla Putri 

Jurnalisme selalu berdiri di atas pijakan kebenaran. Namun, di era media sosial, kebenaran sering tenggelam di bawah derasnya arus informasi. Setiap orang kini bisa menjadi “wartawan dadakan” yang menyebarkan berita, meski tanpa verifikasi.

Akibatnya, publik lebih mudah mempercayai apa yang cepat, bukan apa yang benar. Kebohongan sering viral lebih dulu, sementara kebenaran datang terlambat. Ruang publik pun dipenuhi campuran fakta, opini, hingga manipulasi.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, bagaimana jurnalis bisa menjaga fungsinya ketika kepercayaan publik terhadap media semakin tergerus?

Jurnalisme Indonesia di Era Post-Truth

Kita hidup di masa post-truth, di mana emosi sering lebih dipercaya daripada data. Mochamad Iqbal Jatmiko dari Universitas Indonesia menyebut, “Kebenaran menjadi relatif ketika emosi lebih diutamakan daripada data.” Pernyataan ini terasa nyata, terutama dalam isu politik yang kerap memanas di jagat maya..

Kementerian Kominfo mencatat sepanjang 2023 ada 1.615 isu hoaks beredar di internet. Totalnya, sejak 2018 hingga akhir 2023, jumlah hoaks yang ditangani sudah mencapai 12.547 isu. Angka ini menunjukkan bahwa hoaks bukan fenomena sementara, melainkan ancaman berkelanjutan.

Bagi publik, arus informasi ini menciptakan kebingungan. Mana yang layak dipercaya, mana yang harus diwaspadai? Inilah dilema sehari-hari yang membentuk wajah jurnalisme saat ini.

Hoaks dan Tantangan Literasi Digital

Media arus utama pun menghadapi tekanan. Demi mengejar klik, beberapa media memilih judul sensasional ketimbang akurasi. Penelitian Emeraldien dkk membuktikan bias masih sering ditemukan, bahkan pada media yang terverifikasi Dewan Pers.

Literasi publik juga belum memadai. Survei Literasi Digital 2023 menunjukkan 40,3% masyarakat ragu pada kemampuan mereka membedakan berita hoaks. Artinya, hampir setengah pembaca masih gamang memilah mana fakta dan mana manipulasi.

Hal itu dialami Muidz, narasumber yang saya wawancarai. “Sebenernya, saya jarang lihat berita sih. Paling hanya berita-berita media online yang muncul di sosial media, tapi kadang ga ngecek lagi apakah itu hoax atau bukan. Terkadang saya sering kena gocek sih,” katanya. Suaranya mencerminkan betapa rawannya publik terhadap informasi palsu.

Strategi Jurnalisme Menghadapi Tantangan Masa Depan

Ke depan, hoaks tidak akan berhenti pada teks atau foto. Teknologi deepfake dan AI generatif memungkinkan manipulasi wajah dan suara tokoh publik dengan sangat realistis. Kondisi ini sebagai “zona abu-abu,” di mana informasi setengah benar bisa dipolitisasi.

Polarisasi politik juga menjadi ujian. Publik makin terbelah, dan media sering dituding berpihak. Situasi ini memperburuk krisis kepercayaan yang sudah ada sejak lama.

Reuters Institute dalam Digital News Report 2025 mencatat kepercayaan publik Indonesia terhadap berita hanya naik tipis, dari 35% di 2024 menjadi 36% di 2025. Angka ini menunjukkan betapa sulitnya memulihkan kepercayaan yang telah hilang.

Selain itu, penetrasi internet Indonesia yang mencapai 80,66% populasi pada 2025 menurut APJII semakin memperbesar tantangan. Dengan lebih dari 229 juta pengguna internet, potensi penyebaran hoaks makin luas, dan tuntutan terhadap media untuk menjaga kredibilitas semakin berat.

Menjaga Kebenaran sebagai Fondasi

Meski tantangannya besar, jalan keluar tetap ada. Pertama, media harus kembali ke prinsip dasar transparansi dan etika. Pers hanya bisa menjalankan fungsinya bila berpegang teguh pada kebenaran.

Kedua, literasi digital publik harus terus ditingkatkan. Program Kominfo melalui GNLD sudah melatih lebih dari 24,6 juta orang hingga 2023. Namun, angka itu belum cukup. Modul khusus tentang verifikasi dan cek fakta harus diperluas hingga ke akar rumput.

Ketiga, pemanfaatan teknologi. Alih-alih kalah oleh AI, media perlu mengembangkan sistem fact-checking otomatis dan berkolaborasi dengan platform digital. Regulasi juga perlu ditegakkan agar penyebar hoaks sistematis tidak dibiarkan.

Perjuangan jurnalis Indonesia kini dan nanti bukan sekadar menulis berita, tapi menjaga kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan, media hanya jadi salah satu suara di antara riuh informasi, kehilangan perannya sebagai penuntun demokrasi.

Data menunjukkan betapa seriusnya masalah hoaks, namun pengalaman publik seperti Muidz justru membuat isu ini terasa lebih dekat. Ia menjadi cermin bahwa hoaks bukan sekadar angka, tapi kenyataan yang memengaruhi banyak orang setiap hari.

Pertanyaan yang tersisa, beranikah media menempatkan kebenaran di atas klik dan kepentingan politik? Sebab jika tidak, kebenaran akan terus jadi taruhan, dan jurnalisme perlahan kehilangan ruhnya.

Telah tayang pada: Netralnews

Vertex.Id

Halo! Selamat datang di Vertex.id, blog berita yang dikelola oleh Shalsabhilla Putri, mahasiswa semester 5 Prodi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta. Di sini kamu bisa dapatkan informasi terbaru yang akurat dan terpercaya. Vertex.id hadir untuk berbagi berita seputar News, Feature, Opini, Sport, Finance, Politics, Lifestyle, Vertex Foto, hingga Art&Culture dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Stay tuned untuk update seru dari vertex.id!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama